Rabu, 10 Februari 2016

jihad teror



TERORIS ;
JIHAD ATAU BUNUH DIRI ?
---------------------------------------------------

Oleh : Machmud Suyuti


I

Kata teror berasal dari bahasa latin terror, berarti menciptakan kengerian. Dalam Kamus Bahasa Indonesia dijelaskan teror sebagai perbuatan yang sewenang-wenang (kejam, bengis dan sebagainya). Jadi, secara bahasa, teror disamakan dengan kesewenang-wenangan, kekejaman, kebengisan dan yang serupa dengan itu. Sedang perbuatan teror dan penggunaan kekerasan dengan maksud menimbulkan ketakutan guna mencapai suatu tujuan (seringkali tujuan politik) disebut terorisme. Teroris tentu adalah orang yang melakukan perbuatan teror sebagaimana yang terkandung dalam pengertian (bahasa) terorisme.
Ada yang mengidentikkan terorisme dengan kata Arab al-irhab yang merupakan pecahan kata fi’il (kata kerja) rahaba, yang berarti menakutkan, mengancam, mengerikan. Yang mengidentikkan terorisme dengan al-irhab merujuk ayat al-Qur’an surat al-Anfal/ 8 : 60.
Bagi yang mengidentikkan dalam arti bahasa, terorisme dengan al-irhab, tentu membolehkan terorisme dilakukan dalam Islam, asal ditujukan kepada musuh-musuh Allah dan kaum muslimin. Dalam sejarah Islam telah dikenal kelompok-kelompok tertentu yang menghalalkan penggunaan cara kekerasan (pembunuhan) terhadap lawan yang sebenarnya juga orang Islam, tapi yang dipandang keluar dari keyakinan Islam. Tindakan teror serupa itu, misalnya dilakukan oleh beberapa sekte dari kaum Khawarij. Sekte Assassin, pecahan dari Syiah Ismailiyah, antara abad ke-11 dan ke-13, yang telah mengabsahkan pembunuhan terhadap lawan-lawan politik mereka, yakni Bani Saljuq, oleh sementara sejarawan disebut sebagai “teroris” dan perbuatan mereka disebut “terorisme”.
Mereka yang mengidentikkan kedua kata tersebut (teror dan al-irhab) sesungguhnya menyadari bahwa telah terjadi transformasi makna bahasa tersebut sehingga menjadi terminologi (istilah) baru. Terminologi terorisme tersebut dapat disimak pada penjelasan-penjelasan berikut .
-        Istilah “terorisme” berarti aksi kekerasan bermotivasi politik yang direncanakan sebelumnya, yang dilakukan terhadap sasaran-nontempur (noncombatant) oleh agen-agen rahasia atau subnasional, yang biasanya dimaksudkan untuk mempengaruhi kalangan tertentu.
-        Istilah “terorisme internasional” berarti terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negeri.
-        Sebutan “kelompok teroris” berarti setiap kelompok yang mempraktekkan atau memiliki subkelompok yang mempraktekkan terorisme internasional.
Amerika Serikat telah memandang beberapa gerakan Islam, seperti  Tanzhimul Jihad, Hammas, dan Jamaah Islamiyah di Mesir, serta FIS di Aljazair, sebagai kelompok terorisme. Meskipun AS secara khusus menyifati beberapa gerakan, seperti gerakan revolusioner Nikaragua (Zapatista), Tentara Pembebasan Irlandia (IRA), dan lain-lain, sebagai “gerakan perlawanan rakyat”, dapat diduga gerakan-gerakan tersebut sebagai terorisme, karena gerakan mereka telah melahirkan ancaman, ketakutan dan kebengisan bagi lawan mereka. Dugaan tersebut, didasarkan pada pengertian terorisme yang dirumuskan oleh Dinas Intelijen AS dan Dinas Intelijen Inggris dalam sebuah seminar (1979), bahwa terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk melawan kepentingan-kepentingan sipil guna mewujudkan target-target politis. Senada dengan itu, T.P Thornton mengatakan bahwa terorisme adalah “penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstranormal, khususnya penggunaan ancaman kekerasan”.
Menurut Azyumardi Azra, terorisme tidak gampang didefenisikan karena “terorisme merupakan masalah moral yang sulit”. Satrio dan Azyumardi sama-sama menyebut asumsi bahwa sejumlah tindakan kekerasan, khususnya menyangkut politik, yang unjustifeable (tidak bisa dibenarkan), itulah yang disebut terorisme, sedang kekerasan yang justifeable (bisa dibenarkan), tidak termasuk kategori terorisme. Penjelasan tersebut tetap mengandung masalah, mana batas-batas kekerasan yang justifeable dan yang unjustifeable. Musuh PLO memandang PLO sebagai organisasi kaum teroris karena telah menggunakan cara-cara dan metode-metode kekerasan di dalam mencapai tujuannya. Jadi kekerasan tersebut dinilai sebagai hal yang unjustifeable oleh musuh PLO. Sementara bagi PLO dan para pendukungnya, kekerasan tersebut adalah sesuatu yang diperlukan dalam perlawanan mereka guna mencapai tujuan mereka yang adil dan sah, jadi kekerasan yang diperlukan itu merupakan hal yang justifeable bagi PLO dan para pendukungnya.
Wilkinson, sebagaimana dikutip dalam Terrorism and Liberal State (1977) oleh Azyumardi, mengemukakan bahwa sifat subyektif teror itu sendiri yang menjadi salah satu faktor kesulitan di dalam mendefenisikan terorisme. Sifat subyektif teror ditemukan pada akar-akar ketakutan manusia yang berbeda satu sama lainnya. Perbedaan tersebut dapat diusut sejak dari pengalaman pribadi setiap manusia sampai latar belakang budaya yang berbeda dari manusia.
Dari beberapa penjelasan mengenai terorisme di atas, kiranya dapat dilihat tiga unsur terorisme sebagai yang dikemukakan Azyumardi, yaitu : 1) adanya tindakan atau ancaman kekerasan; 2) adanya reaksi emosional terhadap ketakutan yang amat sangat dari pihak korban atau calon korban; dan 3) dampak sosial yang mengikuti kekerasan (atau ancaman) dan rasa ketakutan yang muncul kemudian. Sementara itu, Satrio menyebutkan tiga unsur terorisme, yaitu : 1) adanya kelompok atau negara yang ingin mengartikulasikan kepentingannya; 2) artikulasi itu dwujudkan lewat aksi kekerasan, dan 3) aksi kekerasan itu terkadang ditujukan kepada warga sipil atau sasaran tertentu untuk menimbulkan ketakutan atau memperoleh dampak reaksi yang diinginkan, dan dengan demikian pada gilirannya akan memperoleh keuntungan politik yang lebih kuat.
Dengan memperhatikan unsur-unsur tersebut, secara umum dapat dijelaskan bahwa terorisme adalah keadaan atau situasi yang menciptakan ancaman, ketakutan dan kekerasan yang luar biasa yang dilakukan oleh suatu pihak (individu, kelompok, negara dan ini disebut teroris) atas pihak lain, baik secara psikis maupun pisik, untuk meraih tujuan-tujuan tertentu yang sering kali bermotif (kepentingan) politik.
Berbagai konfrensi dan seminar internasional untuk membahas topik tentang terorisme telah mendorong berbagai langkah dan tindakan guna membasmi terorisme telah mengundang kontroversi. Kontroversi itu lahir, antara lain karena langkah dan tindakan  di dalam melawan terorisme dituduh memakai standar ganda.
Standar ganda itu kelihatan, misalnya AS menuduh pelaku pembunuhan Indira Gandhi (PM India) sebagai teroris, sementara pembunuh Raja Faisal (Saudi Arabia) dan Presiden Kennedy (AS) tidak dianggap sebagai teroris oleh AS. Di atas sudah disinggung terorisme di masa Revolusi Perancis. Kaum Yakobin memakai istilah terorisme, tapi dalam arti positif, bagi tindakan teror mereka terhadap lawan mereka. Cap “terorisme” dengan mudah diletakkan pada tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang berada di luar mainstream tatanan politik yang mapan, sementara tindakan kekerasan yang serupa atau sama yang dilakukan rezim atau pemerintah atas kelompok-kelompok tertentu yang dinilai sebagai lawan-lawannya justru diabaikan, atau tidak dicap sebagai terorisme. Pada masa Orde Baru gerakan-gerakan yang dicurigai rezim Soeharto dengan gampang dituduh merencanakan makar, sementara tindakan represif dan intimidasi rezim tersebut diabaikan sebagai terorisme.
Sewaktu gedung kantor penyelidikan Federal di Oklahoma beberapa tahun lalu dibom, AS menyatakan pemboman itu adalah terorisme. Tetapi setelah ternyata bahwa pelaku pemboman adalah kalangan milisi AS sendiri, pemboman itu lalu dipandang sebagai aksi kriminal semata.
Krisis yang berkepanjangan di Timur Tengah lebih menjelaskan diterapkannya standar ganda dalam menetapkan suatu tindakan sebagai terorisme atau bukan. Banyak contoh penerapan cara kekerasan yang dilakukan oleh pejuang Palestina tertentu, oleh AS dan sekutu Baratnya disebut sebagai terorisme, sementara tindakan kekerasan yang sama atau serupa dipraktekkan oleh tentara Israel, didiamkan dan tidak dinyatakan sebagai terorisme oleh AS dan sekutu Baratnya.
Kerancuan (standar ganda) dalam penetapan suatu hal atau tindakan sebagai terorisme atau bukan, menjadikan suasana saling tuduh sebagai terorisme atau teroris mewarnai pergolakan politik global terkini setelah peristiwa 11 September di New York dan Washington yang disusul oleh serangan AS ke Afghanistan.

II

Agaknya, tidak perlu dimasalahkan lagi, bahwa pengertian jihad dalam Islam sangat luas perspektinya. Perspektif jihad membentang begitu luas sejak pengertiannya sebagai “suatu usaha yang sungguh-sungguh dilakukan dengan amat keras dan amat tekun”, “perang agama”, “keluar rumah mencari sesuap nasi sebagai tanggung jawab keluarga”, sampai “meninggalkan kampung halaman mencari IPTEK”, dan sebagainya.
Dalam berbagai bentuknya dalam al-Qur’an, kata jihad disebut sebanyak 41 kali. Dalam bentuk persis masdarnya, jihad hanya disebut empat kali dalam al-Qur’an. Jihad yang berasal dari kata juhd dan jahd, berarti “kekuatan, kemampuan, kesulitan dan kelelahan”. Dari pengertian bahasa itu dipahami bahwa jihad memerlukan kekuatan dan kemampuan dalam arti seluas-luasnya, meliputi kekuatan penalaran, pisik/tenaga dan materi. Dari pengertian itu juga dipahami bahwa jihad mengandung konsekuensi dan resiko, seperti kesulitan dan kelelahan.
Bila ayat-ayat al-Qur’an dibagi kepada dua kategori besar, maka dikenal ayat-ayat berkategori makkiyah dan madaniyyah. Ternyata ayat-ayat yang menyebut jihad pun terbagi ke dalam dua kategori tersebut. Ada pendapat bahwa terdapat 8 ayat jihad kategori makkiyah dan 33 ayat yang berkategori madaniyyah. Samakah maksud kata jihad dalam kedua kategori tersebut? Bila diamati, ternyata ada perbedaan di antara keduanya.
Semua ayat jihad kategori makkiyah berarti “bersungguh-sungguh”, jadi lebih ditekankan pada pengertian bahasanya. Jihad pada periode Mekah adalah mengerahkan segenap kemampuan guna mencapai ridho Tuhan. Bahkan, ada ayat makkiyah yang memerintahkan jihad terhadap orang-orang kafir dengan jihad yang besar, namun ayat ini pun tidak mungkin diartikan sebagai perang, berhubung tak ada satu bukti sejarah bahwa pada periode Mekah, Nabi pernah melakukan suatu perang.
Jelaslah kiranya bahwa ayat-ayat jihad di dalam al-Qur’an pada umumnya berarti bersungguh-sungguh, dan hanya beberapa di antaranya, dalam kategori madaniyyah, yang berarti perang. Karena itu, kalau pengertian jihad dipahami lebih pada semangat perang, jelas pemahaman itu tidak sepenuhnya bersifat qur’ani (Islami), bahkan menjadi keliru kalau dikatakan bahwa semangat perang lahir dari ayat-ayat jihad dalam al-Qur’an.
Sebenarnya, kata atau istilah lain dalam al-Qur’an yang justru lebih langsung menunjuk arti perang, ialah kata qital. Bahkan, ayat al-Qur’an yang dipandang pertama kali memerintahkan kebolehan (izin) berperang, menggunakan kata tersebut, bukan jihad, yaitu firman Allah yang tersebut dalam surat al-Hajj/ 22 : 39-40.
Setelah pengertian jihad mencakup banyak hal, termasuk pengertian perang, khususnya setelah kata qital menegaskan pengertian perang, maka Nabi dan para sahabatnya sejak saat itu memakai kata jihad untuk pengertian yang banyak itu.
Dalam masa sejarah yang panjang sesudahnya, istilah jihad mengalami gelombang tekanan pengertian yang dipengaruhi oleh suasana perkembangan masyarakat Muslimin di mana mereka berada dan suasana perkembangan global. Ketika jihad lebih diartikan sebagai perang, tumbuh semangat untuk mewujudkan suatu komunitas tunggal kaum Muslimin di bawah suatu kekuasaan tunggal, seperti kekhalifaan. Akan tetapi, pada pertengahan abad kedua hijriyah (8 M), dengan tumbuhnya sejumlah negara-negara muslim yang merdeka serta saling berperang sesama mereka, telah mengundang pertanyaan, bagaimana perang yang terjadi sesama Muslim itu digolongkan, dapatkah negeri Muslim yang satu disebut sedang berperang (jihad) di jalan Allah sedang negeri lawannya yang juga Muslim, disebut sedang tidak berjihad di jalan Allah? Untuk itu diperlukan kecermatan di dalam melihat kembali perspektif al-Qur’an dan teladan Nabi Saw, mengenai jihad. Ada kesulitan tertentu untuk menentukan kategori yang tepat menyangkut perang sesama Muslim bila dihubungkan dengan pengertian jihad dalam arti perang di jalan Allah. Kesulitan serupa itu juga dialami di masa modern, saat terjadi perang sesama negeri/negara Muslim, lalu masing-masing mengklaim perang yang dilakukan sebagai jihad di jalan Allah.
Jihad yang berarti perang, juga telah membelah dunia Muslim kepada dua belahan : dar al-Islam (wilayah/negeri Islam) dan dar al-harb (wilayah/negeri musuh). Dalam pembelahan demikian, terjadi juga klaim bahwa wilayah sendiri sebagai wilayah Islam, sedang pihak lawan sebagai wilayah/negeri musuh, sekalipun kedua wilayah tersebut merupakan wilayah atau negeri kaum Muslimin. Ironisnya, pembelahan dan klaim seperti itu tetap terjadi meski pun pihak-pihak yang berperang berada dalam satu negara  atau satu propinsi. Contohnya adalah kasus-kasus pemberontakan Kartosuwirjo di Propinsi Jawa Barat, Abdul Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, dan Daud Breueh di Aceh. Wilayah kaum pemberontak yang umumnya di daerah pedalaman (termasuk hutan-hutan), disebut dar al-Islam sedang wilayah selainnya disebut dar al-harb.

III

Gerakan-gerakan berlabel jihad, apalagi yang menempuh cara dan metode kekerasan, seringkali dinilai sebagai bentuk terorisme dari kalangan Islam. Sebenarnya di dalam lingkungan Islam sendiri, kekerasan sebagai cara dan metode perjuangan mengundang perdebatan. Kelompok-kelompok Islam garis keras, sangat mungkin membolehkannya, sedang kalangan Islam lainnya tidak membenarkannya. Bagi kalangan Islam yang membolehkan cara dan metode kekerasan dipakai dalam perjuangan, merujuk firman Allah pada surat al-Nahl/ 16 : 126.
Jadi, kalau kalangan luar Islam memandang sebagai terorisme gerakan-gerakan jihad tertentu karena unsur-unsur terorisme terdapat pada gerakan-gerakan tersebut, maka kalangan dalam Islam, yang juga memandangnya sebagai terorisme karena menurut mereka, Islam tidak mengajarkan dan menyuruh perbuatan teror, Islam adalah agama damai dan rahmat. Kalangan Islam yang tidak menyetujui cara dan metode teror digunakan dalam perjuangan Islam, menegaskan bahwa masa kini, penggunaan kekerasan atau terorisme atas nama agama pada hakikatnya lebih hanya bermotif kepentingan-kepentingan politik, yang selanjutnya dicarikan legitimasinya dalam norma agama. Penegasan ini untuk membedakan kekerasan sebagai cara dan metode yang pernah dipraktekkan oleh sekte-sekte Islam tertentu di masa silam, misalnya kaum Khawarij yang terdiri dari orang-orang Badui (Arab pedusunan) yang tidak terdidik dan keadaan sosial ekonominya di bawah rata-rata. Betapa dana apapun alasannya, perbuatan terorisme dengan jihad dalam lingkungan Islam telah mengundang kontroversi di kalangan Islam sendiri.
Hal lain yang berkaitan dengan terorisme, yang dipraktekkan oleh kalangann Islam tertentu, yang mengandung kontroversi dalam Islam ialah tindakan “bunuh diri” dengan akibat “mati syahid”.
Menyusul serangkaian bom “bunuh diri” yang dilakukan Hammas, salah satu organisasi perjuangan Palestina, hingga 25 Februari 1996, yang dinilai sukses karena telah meluluhlantakkan 61 tentara dan ratusan warga Israel, tidak kurang dari 27 ulama dan ahli Islam Yordania ikut mendukung Hizbullah, organisasi militan Islam yang bermarkas di Libanon, untuk melakukan hal serupa, serangan bom “bunuh diri”. Ada lima alasan ulama dan ahli Islam Yordania itu mendukung serangan bom “bunuh diri” dilakukan, yaitu : 1) Orang-orang Yahudi adalah penjajah dan perampas bumi kaum Muslim Palestina; 2) Warga sipil Israel adalah tentara potensial, artinya jika perang pecah, mereka menjadi serdadu-serdadu cadangan (karena itu mereka tidak berbeda dari militernya); 3) Mayoritas warga sipil Israel mendukung kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintahnya menyangkut soal Palestina; 4) Warga sipil Israel telah bekerjasama dengan tentara dalam menyiksa dan mengusir rakyat Palestina, dan 5) Orang-orang Yahudi, tanpa terkecuali adalah orang-orang asing yang datang dan didatangkan dari berbagai tempat di dunia, mereka datang dengan dogma keagamaan yang dibuat-buat.
Bagi saya alasan para ulama dan ahli Islam Yordania cukup saya tanggapi bahwa bila kita tidak dapat lagi membedakan antara warga/rakyat sipil (yang antara lain, cirinya tidak bersenjata) dan tentara/ militer (yang bersenjata), maka tak mungkin lagi diharapkan kaum Muslim memberi teladan suatu perang di jalan Allah yang lebih beradab, seperti telah diteladankan Rasulullah dalam beberapa kali peperangannya dengan kaum musyrikin/kafir Mekkah khususnya.
Ibn Arabi, ulama Andalusia (Spanyol) pada abad IV H, Imam Hasan Al-Syaibani, Al-Syaukani, Al-Suyuthi, Al-Qurthubi, Ibn Taimiyah dan Ibn Katsir, juga disebut sebagai ulama-ulama yang membenarkan model bunuh diri di jalan Allah tersebut.

IV

Saya sesungguhnya tidak termasuk ke dalam mereka yang membenarkan bunuh diri di jalan Allah. Bunuh diri sebagai hal yang dilarang Islam, tetap dilarang apapun alasan dan bentuknya. Mengenai hadis atau riwayat seperti telah dikemukakan di atas, masih patut didiskusikan : apakah orang yang berani terjun ke medan perang sama dengan bunuh diri ? Sebab, dalam pandangan saya, bunuh diri adalah tindakan atau perbuatan yang kalau dilakukan, maka pasti 0 % peluangnya untuk dapat hidup. Menyerang musuh seraya mengikatkan di badan bahan peledak, atau dengan truk atau pesawat, apalagi dengan bahan peledak (bom), pasti itu adalah bunuh diri karena tak lagi ada peluang sedikit pun untuk mempertahankan hidup (100 % pasti mati). Dengan demikian, saya membedakan antara Pasukan Berani Mati yang maju ke medan tidak dengan menyerahkan diri untuk menjadi sasaran musuh dengan Pasukan Berani Mati yang melemparkan diri ke kancah perang dengan kepastian mati seratus persen. Yang pertama, bisa menjadi jihad dan syahid kalau mati. Sedang yang kedua singkat cerita, matinya pasti konyol karena bunuh diri yang berakibat neraka.
Adapun ayat 111 dari surat al-Taubah yang dijadikan alasan pembenaran bunuh diri di jalan Allah, saya mengajak kita semua untuk memperhatikan dengan seksama redaksi ayat tersebut. Ayat itu memakai redaksi fa yaqtuluwn (maka mereka membunuh) wa yaqtaluwn (dan mereka terbunuh). Maka, pertanyaannya yang bisa didiskusikan pada kesempatan ini adalah, apakah tindakan atau perbuatan “membunuh” atau “terbunuh” dalam pertempuran sama dengan bunuh diri ? Atau, lebih tegas pertanyaannya, “apakah redaksi terbunuh” dalam ayat itu sama dengan redaksi “bunuh diri ?” Jawaban saya ialah “tidak sama”, “bahkan tidak serupa”.
Alasan lain sehingga saya tidak mendukung pembenaran perbuatan bunuh diri sekali pun dikatakan di jalan Allah, adalah karena saya tidak melihat suatu tradisi keagamaan yang membenarkan hal tersebut. Sekiranya penumpahan darah manusia bisa dijadikan sebagai metode untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, niscaya Nabi Ibrahim jadi menyembelih putranya, Ismail. Dan kalau itu terjadi, bukan saja menyembelih manusia akan menjadi tradisi keagamaan guna mendekatkan diri kepada Allah, seperti yang dilakukan Ibrahim, tetapi juga menjadi alasan paling tepat kebolehan bunuh diri untuk meraih tujuan luhur keagamaan. Karena dengan penyembelihan itu, artinya Ismail dengan sadar siap dan melakukan bunuh diri. Akan tetapi tradisi semacam itu tidak diinginkan Allah dengan mengganti Ismail (sembelihan) itu dengan seekor biri-biri.