TERORIS ;
JIHAD ATAU BUNUH DIRI ?
---------------------------------------------------
Oleh : Machmud Suyuti
I
Kata teror
berasal dari bahasa latin terror, berarti menciptakan kengerian. Dalam Kamus
Bahasa Indonesia dijelaskan teror sebagai perbuatan yang sewenang-wenang
(kejam, bengis dan sebagainya). Jadi, secara bahasa, teror disamakan dengan
kesewenang-wenangan, kekejaman, kebengisan dan yang serupa dengan itu. Sedang
perbuatan teror dan penggunaan kekerasan dengan maksud menimbulkan ketakutan
guna mencapai suatu tujuan (seringkali tujuan politik) disebut terorisme.
Teroris tentu adalah orang yang melakukan perbuatan teror sebagaimana yang
terkandung dalam pengertian (bahasa) terorisme.
Ada yang mengidentikkan
terorisme dengan kata Arab al-irhab yang merupakan pecahan kata fi’il
(kata kerja) rahaba, yang berarti menakutkan, mengancam, mengerikan.
Yang mengidentikkan terorisme dengan al-irhab merujuk ayat al-Qur’an surat
al-Anfal/ 8 : 60.
Bagi yang mengidentikkan dalam
arti bahasa, terorisme dengan al-irhab, tentu membolehkan terorisme
dilakukan dalam Islam, asal ditujukan kepada musuh-musuh Allah dan kaum
muslimin. Dalam sejarah Islam telah dikenal kelompok-kelompok tertentu yang
menghalalkan penggunaan cara kekerasan (pembunuhan) terhadap lawan yang sebenarnya
juga orang Islam, tapi yang dipandang keluar dari keyakinan Islam. Tindakan
teror serupa itu, misalnya dilakukan oleh beberapa sekte dari kaum Khawarij.
Sekte Assassin, pecahan dari Syiah Ismailiyah, antara abad ke-11 dan ke-13,
yang telah mengabsahkan pembunuhan terhadap lawan-lawan politik mereka, yakni
Bani Saljuq, oleh sementara sejarawan disebut sebagai “teroris” dan perbuatan
mereka disebut “terorisme”.
Mereka yang mengidentikkan kedua
kata tersebut (teror dan al-irhab) sesungguhnya menyadari bahwa telah
terjadi transformasi makna bahasa tersebut sehingga menjadi terminologi
(istilah) baru. Terminologi terorisme tersebut dapat disimak pada
penjelasan-penjelasan berikut .
-
Istilah
“terorisme” berarti aksi kekerasan bermotivasi politik yang direncanakan
sebelumnya, yang dilakukan terhadap sasaran-nontempur (noncombatant)
oleh agen-agen rahasia atau subnasional, yang biasanya dimaksudkan untuk
mempengaruhi kalangan tertentu.
-
Istilah
“terorisme internasional” berarti terorisme yang melibatkan warga negara atau
wilayah lebih dari satu negeri.
-
Sebutan
“kelompok teroris” berarti setiap kelompok yang mempraktekkan atau memiliki
subkelompok yang mempraktekkan terorisme internasional.
Amerika Serikat telah memandang
beberapa gerakan Islam, seperti Tanzhimul
Jihad, Hammas, dan Jamaah Islamiyah di Mesir, serta FIS di Aljazair, sebagai
kelompok terorisme. Meskipun AS secara khusus menyifati beberapa gerakan,
seperti gerakan revolusioner Nikaragua (Zapatista), Tentara Pembebasan Irlandia
(IRA), dan lain-lain, sebagai “gerakan perlawanan rakyat”, dapat diduga
gerakan-gerakan tersebut sebagai terorisme, karena gerakan mereka telah
melahirkan ancaman, ketakutan dan kebengisan bagi lawan mereka. Dugaan
tersebut, didasarkan pada pengertian terorisme yang dirumuskan oleh Dinas
Intelijen AS dan Dinas Intelijen Inggris dalam sebuah seminar (1979), bahwa
terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk melawan kepentingan-kepentingan
sipil guna mewujudkan target-target politis. Senada dengan itu, T.P Thornton
mengatakan bahwa terorisme adalah “penggunaan teror sebagai tindakan simbolis
yang dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan tingkah laku politik dengan
cara-cara ekstranormal, khususnya penggunaan ancaman kekerasan”.
Menurut Azyumardi Azra,
terorisme tidak gampang didefenisikan karena “terorisme merupakan masalah moral
yang sulit”. Satrio dan Azyumardi sama-sama menyebut asumsi bahwa sejumlah
tindakan kekerasan, khususnya menyangkut politik, yang unjustifeable
(tidak bisa dibenarkan), itulah yang disebut terorisme, sedang kekerasan yang justifeable
(bisa dibenarkan), tidak termasuk kategori terorisme. Penjelasan tersebut tetap
mengandung masalah, mana batas-batas kekerasan yang justifeable dan yang
unjustifeable. Musuh PLO memandang PLO sebagai organisasi kaum teroris karena
telah menggunakan cara-cara dan metode-metode kekerasan di dalam mencapai
tujuannya. Jadi kekerasan tersebut dinilai sebagai hal yang unjustifeable
oleh musuh PLO. Sementara bagi PLO dan para pendukungnya, kekerasan tersebut
adalah sesuatu yang diperlukan dalam perlawanan mereka guna mencapai tujuan
mereka yang adil dan sah, jadi kekerasan yang diperlukan itu merupakan hal yang
justifeable bagi PLO dan para pendukungnya.
Wilkinson, sebagaimana dikutip
dalam Terrorism and Liberal State (1977) oleh Azyumardi, mengemukakan
bahwa sifat subyektif teror itu sendiri yang menjadi salah satu faktor
kesulitan di dalam mendefenisikan terorisme. Sifat subyektif teror ditemukan
pada akar-akar ketakutan manusia yang berbeda satu sama lainnya. Perbedaan
tersebut dapat diusut sejak dari pengalaman pribadi setiap manusia sampai latar
belakang budaya yang berbeda dari manusia.
Dari beberapa penjelasan
mengenai terorisme di atas, kiranya dapat dilihat tiga unsur terorisme sebagai
yang dikemukakan Azyumardi, yaitu : 1) adanya tindakan atau ancaman kekerasan;
2) adanya reaksi emosional terhadap ketakutan yang amat sangat dari pihak
korban atau calon korban; dan 3) dampak sosial yang mengikuti kekerasan (atau
ancaman) dan rasa ketakutan yang muncul kemudian. Sementara itu, Satrio
menyebutkan tiga unsur terorisme, yaitu : 1) adanya kelompok atau negara yang
ingin mengartikulasikan kepentingannya; 2) artikulasi itu dwujudkan lewat aksi
kekerasan, dan 3) aksi kekerasan itu terkadang ditujukan kepada warga sipil
atau sasaran tertentu untuk menimbulkan ketakutan atau memperoleh dampak reaksi
yang diinginkan, dan dengan demikian pada gilirannya akan memperoleh keuntungan
politik yang lebih kuat.
Dengan memperhatikan unsur-unsur
tersebut, secara umum dapat dijelaskan bahwa terorisme adalah keadaan atau
situasi yang menciptakan ancaman, ketakutan dan kekerasan yang luar biasa yang
dilakukan oleh suatu pihak (individu, kelompok, negara dan ini disebut teroris)
atas pihak lain, baik secara psikis maupun pisik, untuk meraih tujuan-tujuan
tertentu yang sering kali bermotif (kepentingan) politik.
Berbagai konfrensi dan seminar
internasional untuk membahas topik tentang terorisme telah mendorong berbagai
langkah dan tindakan guna membasmi terorisme telah mengundang kontroversi.
Kontroversi itu lahir, antara lain karena langkah dan tindakan di dalam melawan terorisme dituduh memakai
standar ganda.
Standar ganda itu kelihatan,
misalnya AS menuduh pelaku pembunuhan Indira Gandhi (PM India) sebagai teroris,
sementara pembunuh Raja Faisal (Saudi Arabia) dan Presiden Kennedy (AS) tidak
dianggap sebagai teroris oleh AS. Di atas sudah disinggung terorisme di masa
Revolusi Perancis. Kaum Yakobin memakai istilah terorisme, tapi dalam arti
positif, bagi tindakan teror mereka terhadap lawan mereka. Cap “terorisme”
dengan mudah diletakkan pada tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok yang berada di luar mainstream tatanan politik yang
mapan, sementara tindakan kekerasan yang serupa atau sama yang dilakukan rezim
atau pemerintah atas kelompok-kelompok tertentu yang dinilai sebagai
lawan-lawannya justru diabaikan, atau tidak dicap sebagai terorisme. Pada masa
Orde Baru gerakan-gerakan yang dicurigai rezim Soeharto dengan gampang dituduh
merencanakan makar, sementara tindakan represif dan intimidasi rezim tersebut
diabaikan sebagai terorisme.
Sewaktu gedung kantor
penyelidikan Federal di Oklahoma beberapa tahun lalu dibom, AS menyatakan
pemboman itu adalah terorisme. Tetapi setelah ternyata bahwa pelaku pemboman
adalah kalangan milisi AS sendiri, pemboman itu lalu dipandang sebagai aksi
kriminal semata.
Krisis yang berkepanjangan di
Timur Tengah lebih menjelaskan diterapkannya standar ganda dalam menetapkan
suatu tindakan sebagai terorisme atau bukan. Banyak contoh penerapan cara
kekerasan yang dilakukan oleh pejuang Palestina tertentu, oleh AS dan sekutu
Baratnya disebut sebagai terorisme, sementara tindakan kekerasan yang sama atau
serupa dipraktekkan oleh tentara Israel, didiamkan dan tidak dinyatakan sebagai
terorisme oleh AS dan sekutu Baratnya.
Kerancuan (standar ganda) dalam
penetapan suatu hal atau tindakan sebagai terorisme atau bukan, menjadikan
suasana saling tuduh sebagai terorisme atau teroris mewarnai pergolakan politik
global terkini setelah peristiwa 11 September di New York dan Washington yang
disusul oleh serangan AS ke Afghanistan.
II
Agaknya, tidak perlu
dimasalahkan lagi, bahwa pengertian jihad dalam Islam sangat luas perspektinya.
Perspektif jihad membentang begitu luas sejak pengertiannya sebagai “suatu
usaha yang sungguh-sungguh dilakukan dengan amat keras dan amat tekun”, “perang
agama”, “keluar rumah mencari sesuap nasi sebagai tanggung jawab keluarga”,
sampai “meninggalkan kampung halaman mencari IPTEK”, dan sebagainya.
Dalam berbagai bentuknya dalam
al-Qur’an, kata jihad disebut sebanyak 41 kali. Dalam bentuk persis masdarnya,
jihad hanya disebut empat kali dalam al-Qur’an. Jihad yang berasal dari kata
juhd dan jahd, berarti “kekuatan, kemampuan, kesulitan dan kelelahan”. Dari
pengertian bahasa itu dipahami bahwa jihad memerlukan kekuatan dan kemampuan
dalam arti seluas-luasnya, meliputi kekuatan penalaran, pisik/tenaga dan
materi. Dari pengertian itu juga dipahami bahwa jihad mengandung konsekuensi
dan resiko, seperti kesulitan dan kelelahan.
Bila ayat-ayat al-Qur’an dibagi
kepada dua kategori besar, maka dikenal ayat-ayat berkategori makkiyah dan
madaniyyah. Ternyata ayat-ayat yang menyebut jihad pun terbagi ke dalam dua
kategori tersebut. Ada pendapat bahwa terdapat 8 ayat jihad kategori makkiyah
dan 33 ayat yang berkategori madaniyyah. Samakah maksud kata jihad dalam kedua
kategori tersebut? Bila diamati, ternyata ada perbedaan di antara keduanya.
Semua ayat jihad kategori
makkiyah berarti “bersungguh-sungguh”, jadi lebih ditekankan pada pengertian
bahasanya. Jihad pada periode Mekah adalah mengerahkan segenap kemampuan guna
mencapai ridho Tuhan. Bahkan, ada ayat makkiyah yang memerintahkan jihad
terhadap orang-orang kafir dengan jihad yang besar, namun ayat ini pun tidak
mungkin diartikan sebagai perang, berhubung tak ada satu bukti sejarah bahwa
pada periode Mekah, Nabi pernah melakukan suatu perang.
Jelaslah kiranya bahwa ayat-ayat
jihad di dalam al-Qur’an pada umumnya berarti bersungguh-sungguh, dan hanya
beberapa di antaranya, dalam kategori madaniyyah, yang berarti perang. Karena
itu, kalau pengertian jihad dipahami lebih pada semangat perang, jelas
pemahaman itu tidak sepenuhnya bersifat qur’ani (Islami), bahkan menjadi keliru
kalau dikatakan bahwa semangat perang lahir dari ayat-ayat jihad dalam
al-Qur’an.
Sebenarnya, kata atau istilah
lain dalam al-Qur’an yang justru lebih langsung menunjuk arti perang, ialah
kata qital. Bahkan, ayat al-Qur’an yang dipandang pertama kali memerintahkan
kebolehan (izin) berperang, menggunakan kata tersebut, bukan jihad, yaitu firman
Allah yang tersebut dalam surat al-Hajj/ 22 : 39-40.
Setelah pengertian jihad
mencakup banyak hal, termasuk pengertian perang, khususnya setelah kata qital
menegaskan pengertian perang, maka Nabi dan para sahabatnya sejak saat itu
memakai kata jihad untuk pengertian yang banyak itu.
Dalam masa sejarah yang panjang
sesudahnya, istilah jihad mengalami gelombang tekanan pengertian yang
dipengaruhi oleh suasana perkembangan masyarakat Muslimin di mana mereka berada
dan suasana perkembangan global. Ketika jihad lebih diartikan sebagai perang,
tumbuh semangat untuk mewujudkan suatu komunitas tunggal kaum Muslimin di bawah
suatu kekuasaan tunggal, seperti kekhalifaan. Akan tetapi, pada pertengahan
abad kedua hijriyah (8 M), dengan tumbuhnya sejumlah negara-negara muslim yang
merdeka serta saling berperang sesama mereka, telah mengundang pertanyaan,
bagaimana perang yang terjadi sesama Muslim itu digolongkan, dapatkah negeri
Muslim yang satu disebut sedang berperang (jihad) di jalan Allah sedang negeri
lawannya yang juga Muslim, disebut sedang tidak berjihad di jalan Allah? Untuk
itu diperlukan kecermatan di dalam melihat kembali perspektif al-Qur’an dan
teladan Nabi Saw, mengenai jihad. Ada kesulitan tertentu untuk menentukan
kategori yang tepat menyangkut perang sesama Muslim bila dihubungkan dengan
pengertian jihad dalam arti perang di jalan Allah. Kesulitan serupa itu juga
dialami di masa modern, saat terjadi perang sesama negeri/negara Muslim, lalu
masing-masing mengklaim perang yang dilakukan sebagai jihad di jalan Allah.
Jihad yang berarti perang, juga
telah membelah dunia Muslim kepada dua belahan : dar al-Islam
(wilayah/negeri Islam) dan dar al-harb (wilayah/negeri musuh). Dalam
pembelahan demikian, terjadi juga klaim bahwa wilayah sendiri sebagai wilayah
Islam, sedang pihak lawan sebagai wilayah/negeri musuh, sekalipun kedua wilayah
tersebut merupakan wilayah atau negeri kaum Muslimin. Ironisnya, pembelahan dan
klaim seperti itu tetap terjadi meski pun pihak-pihak yang berperang berada
dalam satu negara atau satu propinsi.
Contohnya adalah kasus-kasus pemberontakan Kartosuwirjo di Propinsi Jawa Barat,
Abdul Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, dan Daud Breueh di Aceh. Wilayah kaum
pemberontak yang umumnya di daerah pedalaman (termasuk hutan-hutan), disebut dar
al-Islam sedang wilayah selainnya disebut dar al-harb.
III
Gerakan-gerakan berlabel jihad,
apalagi yang menempuh cara dan metode kekerasan, seringkali dinilai sebagai
bentuk terorisme dari kalangan Islam. Sebenarnya di dalam lingkungan Islam
sendiri, kekerasan sebagai cara dan metode perjuangan mengundang perdebatan.
Kelompok-kelompok Islam garis keras, sangat mungkin membolehkannya, sedang
kalangan Islam lainnya tidak membenarkannya. Bagi kalangan Islam yang
membolehkan cara dan metode kekerasan dipakai dalam perjuangan, merujuk firman
Allah pada surat al-Nahl/ 16 : 126.
Jadi, kalau kalangan luar Islam
memandang sebagai terorisme gerakan-gerakan jihad tertentu karena unsur-unsur
terorisme terdapat pada gerakan-gerakan tersebut, maka kalangan dalam Islam,
yang juga memandangnya sebagai terorisme karena menurut mereka, Islam tidak
mengajarkan dan menyuruh perbuatan teror, Islam adalah agama damai dan rahmat.
Kalangan Islam yang tidak menyetujui cara dan metode teror digunakan dalam
perjuangan Islam, menegaskan bahwa masa kini, penggunaan kekerasan atau
terorisme atas nama agama pada hakikatnya lebih hanya bermotif
kepentingan-kepentingan politik, yang selanjutnya dicarikan legitimasinya dalam
norma agama. Penegasan ini untuk membedakan kekerasan sebagai cara dan metode
yang pernah dipraktekkan oleh sekte-sekte Islam tertentu di masa silam,
misalnya kaum Khawarij yang terdiri dari orang-orang Badui (Arab pedusunan)
yang tidak terdidik dan keadaan sosial ekonominya di bawah rata-rata. Betapa
dana apapun alasannya, perbuatan terorisme dengan jihad dalam lingkungan Islam
telah mengundang kontroversi di kalangan Islam sendiri.
Hal lain yang berkaitan dengan
terorisme, yang dipraktekkan oleh kalangann Islam tertentu, yang mengandung
kontroversi dalam Islam ialah tindakan “bunuh diri” dengan akibat “mati
syahid”.
Menyusul serangkaian bom “bunuh
diri” yang dilakukan Hammas, salah satu organisasi perjuangan Palestina, hingga
25 Februari 1996, yang dinilai sukses karena telah meluluhlantakkan 61 tentara
dan ratusan warga Israel, tidak kurang dari 27 ulama dan ahli Islam Yordania
ikut mendukung Hizbullah, organisasi militan Islam yang bermarkas di Libanon,
untuk melakukan hal serupa, serangan bom “bunuh diri”. Ada lima alasan ulama
dan ahli Islam Yordania itu mendukung serangan bom “bunuh diri” dilakukan,
yaitu : 1) Orang-orang Yahudi adalah penjajah dan perampas bumi kaum Muslim
Palestina; 2) Warga sipil Israel adalah tentara potensial, artinya jika perang
pecah, mereka menjadi serdadu-serdadu cadangan (karena itu mereka tidak berbeda
dari militernya); 3) Mayoritas warga sipil Israel mendukung
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintahnya menyangkut soal Palestina; 4) Warga
sipil Israel telah bekerjasama dengan tentara dalam menyiksa dan mengusir
rakyat Palestina, dan 5) Orang-orang Yahudi, tanpa terkecuali adalah
orang-orang asing yang datang dan didatangkan dari berbagai tempat di dunia,
mereka datang dengan dogma keagamaan yang dibuat-buat.
Bagi saya alasan para ulama dan
ahli Islam Yordania cukup saya tanggapi bahwa bila kita tidak dapat lagi
membedakan antara warga/rakyat sipil (yang antara lain, cirinya tidak
bersenjata) dan tentara/ militer (yang bersenjata), maka tak mungkin lagi
diharapkan kaum Muslim memberi teladan suatu perang di jalan Allah yang lebih
beradab, seperti telah diteladankan Rasulullah dalam beberapa kali
peperangannya dengan kaum musyrikin/kafir Mekkah khususnya.
Ibn Arabi, ulama Andalusia
(Spanyol) pada abad IV H, Imam Hasan Al-Syaibani, Al-Syaukani, Al-Suyuthi,
Al-Qurthubi, Ibn Taimiyah dan Ibn Katsir, juga disebut sebagai ulama-ulama yang
membenarkan model bunuh diri di jalan Allah tersebut.
IV
Saya sesungguhnya tidak termasuk
ke dalam mereka yang membenarkan bunuh diri di jalan Allah. Bunuh diri sebagai
hal yang dilarang Islam, tetap dilarang apapun alasan dan bentuknya. Mengenai
hadis atau riwayat seperti telah dikemukakan di atas, masih patut didiskusikan
: apakah orang yang berani terjun ke medan perang sama dengan bunuh diri ?
Sebab, dalam pandangan saya, bunuh diri adalah tindakan atau perbuatan yang
kalau dilakukan, maka pasti 0 % peluangnya untuk dapat hidup. Menyerang musuh
seraya mengikatkan di badan bahan peledak, atau dengan truk atau pesawat,
apalagi dengan bahan peledak (bom), pasti itu adalah bunuh diri karena tak lagi
ada peluang sedikit pun untuk mempertahankan hidup (100 % pasti mati). Dengan
demikian, saya membedakan antara Pasukan Berani Mati yang maju ke medan tidak
dengan menyerahkan diri untuk menjadi sasaran musuh dengan Pasukan Berani Mati
yang melemparkan diri ke kancah perang dengan kepastian mati seratus persen.
Yang pertama, bisa menjadi jihad dan syahid kalau mati. Sedang yang kedua
singkat cerita, matinya pasti konyol karena bunuh diri yang berakibat neraka.
Adapun ayat 111 dari surat
al-Taubah yang dijadikan alasan pembenaran bunuh diri di jalan Allah, saya
mengajak kita semua untuk memperhatikan dengan seksama redaksi ayat tersebut.
Ayat itu memakai redaksi fa yaqtuluwn (maka mereka membunuh) wa
yaqtaluwn (dan mereka terbunuh). Maka, pertanyaannya yang bisa didiskusikan
pada kesempatan ini adalah, apakah tindakan atau perbuatan “membunuh” atau
“terbunuh” dalam pertempuran sama dengan bunuh diri ? Atau, lebih tegas
pertanyaannya, “apakah redaksi terbunuh” dalam ayat itu sama dengan redaksi
“bunuh diri ?” Jawaban saya ialah “tidak sama”, “bahkan tidak serupa”.
Alasan lain sehingga saya tidak mendukung
pembenaran perbuatan bunuh diri sekali pun dikatakan di jalan Allah, adalah
karena saya tidak melihat suatu tradisi keagamaan yang membenarkan hal
tersebut. Sekiranya penumpahan darah manusia bisa dijadikan sebagai metode
untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, niscaya Nabi Ibrahim
jadi menyembelih putranya, Ismail. Dan kalau itu terjadi, bukan saja
menyembelih manusia akan menjadi tradisi keagamaan guna mendekatkan diri kepada
Allah, seperti yang dilakukan Ibrahim, tetapi juga menjadi alasan paling tepat
kebolehan bunuh diri untuk meraih tujuan luhur keagamaan. Karena dengan
penyembelihan itu, artinya Ismail dengan sadar siap dan melakukan bunuh diri.
Akan tetapi tradisi semacam itu tidak diinginkan Allah dengan mengganti Ismail
(sembelihan) itu dengan seekor biri-biri.